80.000 Buruh Perkebunan Hidup Miskin
MEDAN, KOMPAS.com — Ekspansi kelapa sawit telah memarjinalkan buruh dan masyarakat sekitar perkebunan. Setidaknya 80.000 buruh perkebunan kelapa sawit hidup dalam kemiskinan dan ketidakjelasan status.
Demikian antara lain yang mengemuka dalam Konferensi Alternatif Peringatan 100 Tahun Sawit di Indonesia yang digelar di Medan, Sumatera Utara, Minggu (27/3/2011). Acara yang rencananya berakhir pada 29 Maret ini dihadiri sedikitnya perwakilan dari 32 organisasi nonpemerintahan seluruh Indonesia dan beberapa aktivis kemanusiaan.
Sawit Watch tahun 2008 melansir bahwa luas lahan sawit di Indonesia mencapai 7,8 juta hektar dengan pertumbuhan 15 persen per tahun. Luas lahan perkebunan kelapa sawit di Sumut mencapai 1,2 juta hektar.
Koordinator Bidang Penelitian dan Pengembangan Kelompok Pelita Sejahtera Manginar Situmorang dalam kesempatan tersebut menjelaskan, sebanyak 80.000 buruh harian lepas di Sumatera Utara hanya bergaji sekitar Rp 29.000 sampai Rp 31.500 per hari atau sekitar Rp 870.000 sampai Rp 945.000 per bulan. Waktu kerja mereka selama 7 jam per hari. Status mereka terus digantung sebagai buruh harian lepas tanpa tahu kapan menjadi pekerja tetap.
Di bawah standar
Padahal, Badan Koordinasi Perusahaan Perkebunan Swasta (BKPPS) saja menetapkan upah minimal Rp 1,005 juta per bulan. BKPPS merupakan oraganisasi perusahaan-perusahaan kecil menengah, penanam modal asing, dan penanam modal dalam negeri.
"Tetapi ini hanya untuk buruh resmi perkebunan swasta. Besaran upah untuk pekerja borongan atau buruh harian lepas ditentukan atas dasar kesepakatan antara buruh dan pengusaha yang jumlahnya jelas lebih kecil dari standar BKPPS tersebut," ujarnya.
Selain berupah rendah, 80.000 buruh tersebut tidak mendapat jaminan kerja . Mereka juga dikenakan standar ganda, yakni kerja harian tetapi juga dipasang target tertentu per hari. Akibatnya, banyak buruh yang melibatkan anak istri untuk memenuhi target tersebut.
Beratnya beban buruh juga tergambar dari luasnya lahan yang harus mereka tangani. Untuk 100 hektar lahan perkebunan, hanya ada 22 pekerja.
Para buruh dibebani tugas memotong pelepah, merapikan pelepah yang dipotong, memotong tangkai kelapa sawit, memunguti buah sawit yang jatuh, mengangkut buah kelapa sawit ke tempat pengumpulan hasil (TPH), serta menyusun dan memberi kode buah kelapa sawit tersebut. Semua itu mereka kerjakan di bawah pengawasan ketat mandor perkebunan. Praktik ini telah berjalan puluhan tahun, sejak 1970-an.
Rawan kecelakaan
Menurut Manginar, para pekerja tersebut tidak dilengkapi dengan alat pengaman sehingga rawan kecelakaan. Dalam penelitian KPS selama empat bulan (Januarai-April 2008) yang digelar di 6 perkebunan kepala sawit, terdapat 47 kecelakaan kerja dengan korban buruh perkebunan. Sebanyak 11 kasus menyebabkan cacat mata lantaran terkena getah, terkontaminasi zat kimia dari pupuk atau pestisida, atau tertimpa tandan buah segar kelapa sawit. Dua orang di antaranya tewas karena tertimpa buah kelapa sawit dan tersengat aliran listrik. Sisa korban lainnya mengalami luka ringan, seperti tertusuk duri atau digigit serangga. Ini merupakan fenomena gunung es.
Dalam kesempatan tersebut, Ketua Komisi Nasional HAM Ifdhal Kasim mengatakan, sistem yang diterapkan para pengelola perkebunan tersebut bisa diindikasikan sebagai pelanggaran HAM. "Indikasi pelanggaran HAM itu bisa dilaporkan dan korban bisa menangih janji perusahaan tentang pelanggaran tersebut. Mereka juga harus akuntabel dan memberikan pemulihan apabila terjadi korban dalam kegiatan mereka," ujarnya.
Peneliti ekonomi politik George Junus
Aditjondro yang hadir dalam acara tersebut menambahkan, ekspansai
perkebunan kelapa sawit kerap menimbulkan masalah. Selain dugaan
pelanggaran HAM, juga konflik lahan. Sejak tahun 2004 sampai sekarang
terjadi penyerobotan lahan milik warga seluas 6.000 hektar. Seluas
3.500 hektar lahan tersebut digunakan sebagai perkebunan kelapa sawit.
Penyerobotan dan perluasan perkebunan kelapa sawit itu kerap dilakukan
oleh pihak-pihak yang didukung penguasa.
DIKUTIP DARI KOMPAS, MINGGU, 27 MARET 2011