Transformasi Pasca Migas Merupakan Strategi Bukan Tanpa Alasan
22 Oktober 2014
Admin Website
Berita Daerah
3815
SAMARINDA. Pelaksana Tugas (Plt) Sekprov Kaltim Dr H
Rusmadi menegaskan strategi transformasi ekonomi pasca migas dan batu
bara kemudian diimplementasikan sebagai visi Kaltim Maju 2030 dengan
tujuan mewujudkan pertumbuhan ekonomi hijau yang berkeadilan dan
berkelanjutan bukanlah strategi tanpa alasan.
Karena penelaahan dan analisis mendalam dari data-data, informasi, serta perkembangan sosial ekonomi di Kaltim sejak 1970 telah dilakukan. Kemudian dinamika regional dan global juga digunakan sebagai bahan analisis penetuan strategi tersebut.
"Sebenarnya tidak baik terlalu mengingat-ngingat masa lalu, karena bisa jadi mengganggu konsentrasi kita untuk melihat ke depan. Tetapi sebenarnya, boleh saja menengok ke belakang untuk evaluasi dan introspeksi," kata Rusmadi, baru-baru ini di Samarinda.
Karena itu, masyarakat diharapkan lebih banyak melihat ke depan dibanding ke belakang. Menurut dia, awal periode ekonomi Kaltim, kurang lebih 20 tahun (1970-1990) ditopang oleh sektor kehutanan. Saat itu, laju pertumbuhan ekonomi Kaltim mampu mencapai 7,42 persen pertahun.
Kemudian pada 2000-2013 sektor tambang dan migas serta batu bara masih menjadi andalan perekonomian daerah. Kontribusinya meningkat dari 9,45 persen pada 2001 menjadi 30,72 persen. Namun pada 2012-2013 menurun menjadi 27,95 persen. Sementara kontribusi migas perlahan mulai menurun dari 25,78 persen pada 2001 menjadi 14,42 persen di 2013.
Pergeseran tersebut juga diikuti dengan penurunan sektor industri pengolahan berbasis migas dari 35,14 persen pada 2001 menjadi 24,55 persen untuk 2013. Meski sempat melejit, kontribusi sektor pertambangan semakin menurun, demikian pula dengan migas beserta industri pengolahannya.
"Dikaruniai SDA berlimpah tentu merupakan suatu berkah. Tetapi jika tidak dikelola secara arif dan cerdas, kondisinya bisa berbalik menjadi sebuah kutukan. Harus disadari bahwa pola pembangunan yang mengandalkan SDA tak terbarukan tidak dapat kita teruskan lagi," jelasnya.
Pada saat sumber daya tersebut nilainya semakin tidak ekonomis atau bahkan habis, maka pengangguran akan merajalela, terjadi gejolak sosial dan kemudian memunculkan permasalahan sosial serta permasalahan lain. Karena itu, Kaltim harus mempersiapkan langkah antisipatif untuk menghindari resiko ini.
Umumnya, sektor industri kerap dijadikan kambing hitam dalam kerusakan lingkungan. Sebenarnya tidak demikian, asalkan dikembangkan dengan prinsip ramah lingkungan. Saat ini telah banyak dilakukan inovasi industri ramah lingkungan, salah satunya integrasi hulu-hilir atau konsep zero waste industry.
Bagian komoditas yang awalnya hanya sisa atau limbah dapat menghasilkan produk sampingan yang punya nilai ekonomi. Contohnya, pengembangan agrobisnis dari kelapa sawit. Kelapa sawit merupakan tanaman serba guna. Adanya potensi lahan yang subur, didukung pasokan tenaga kerja yang memadai menjadikan kelapa sawit sebagai harapan perekonomian Kaltim ke depan. Kemudian ditunjang luas perkebunan kelapa sawit Kaltim 2013 yang mencapai 1 juta hektare.
Bahkan, hasil pengolahan di pabrik kelapa sawit yang berupa Crude Palm Oil (CPO) dapat diolah menjadi berbagai produk turunan, antara lain detergen, makanan, bahan makanan tambahan, pelumas, enzim industri dan lain-lain.
"Tentu saja masing-masing produk membutuhkan proses sendiri di pabrik yang berbeda-beda. Bisa dibayangkan berapa tenaga kerja yang terserap jika sektor ini terus dikembangkan hingga sektor hilir," jelasnya.
Tantangan dan permasalahan pembangunan pertanian ke depan tidak lagi hanya sebatas pada ketersediaan infrastruktur pertanian, SDM petani dan sarana prasarana produksi pertanian. Ke depan tantangan akan semakin berat.
Pada 2015 masyarakat Indonesia akan menghadapi Asean Economic Community, disisi lain masyarakat dihadapkan pada isu perubahan iklim yang berpotensi menyebabkan gagal panen dan kelangkaan pangan secara global akibatnya harga pangan akan melonjak tinggi. Cepat atau lambat masyarakat akan menghadapi keadaan dimana ketersediaan pangan akan menjadi isu politik dan pertahanan suatu negara.
"Harapan saya semua masyarakat bisa memahami mengapa harus berbalik arah, mengapa kita harus banting stir untuk tidak lagi berharap dan bergantung pada sektor-sektor yang tidak dapat diperbarui. Saya ingin semuanya melek. Saya juga ingin mengingatkan, ini bukan lagi jamannya jual produk mentah. Jangan terlalu manja, kita harus kreatif dan inovatif untuk menghasilkan nilai tambah," jelasnya.(jay/es/hmsprov).
SUMBER : HUMAS PROV. KALTIM
Karena penelaahan dan analisis mendalam dari data-data, informasi, serta perkembangan sosial ekonomi di Kaltim sejak 1970 telah dilakukan. Kemudian dinamika regional dan global juga digunakan sebagai bahan analisis penetuan strategi tersebut.
"Sebenarnya tidak baik terlalu mengingat-ngingat masa lalu, karena bisa jadi mengganggu konsentrasi kita untuk melihat ke depan. Tetapi sebenarnya, boleh saja menengok ke belakang untuk evaluasi dan introspeksi," kata Rusmadi, baru-baru ini di Samarinda.
Karena itu, masyarakat diharapkan lebih banyak melihat ke depan dibanding ke belakang. Menurut dia, awal periode ekonomi Kaltim, kurang lebih 20 tahun (1970-1990) ditopang oleh sektor kehutanan. Saat itu, laju pertumbuhan ekonomi Kaltim mampu mencapai 7,42 persen pertahun.
Kemudian pada 2000-2013 sektor tambang dan migas serta batu bara masih menjadi andalan perekonomian daerah. Kontribusinya meningkat dari 9,45 persen pada 2001 menjadi 30,72 persen. Namun pada 2012-2013 menurun menjadi 27,95 persen. Sementara kontribusi migas perlahan mulai menurun dari 25,78 persen pada 2001 menjadi 14,42 persen di 2013.
Pergeseran tersebut juga diikuti dengan penurunan sektor industri pengolahan berbasis migas dari 35,14 persen pada 2001 menjadi 24,55 persen untuk 2013. Meski sempat melejit, kontribusi sektor pertambangan semakin menurun, demikian pula dengan migas beserta industri pengolahannya.
"Dikaruniai SDA berlimpah tentu merupakan suatu berkah. Tetapi jika tidak dikelola secara arif dan cerdas, kondisinya bisa berbalik menjadi sebuah kutukan. Harus disadari bahwa pola pembangunan yang mengandalkan SDA tak terbarukan tidak dapat kita teruskan lagi," jelasnya.
Pada saat sumber daya tersebut nilainya semakin tidak ekonomis atau bahkan habis, maka pengangguran akan merajalela, terjadi gejolak sosial dan kemudian memunculkan permasalahan sosial serta permasalahan lain. Karena itu, Kaltim harus mempersiapkan langkah antisipatif untuk menghindari resiko ini.
Umumnya, sektor industri kerap dijadikan kambing hitam dalam kerusakan lingkungan. Sebenarnya tidak demikian, asalkan dikembangkan dengan prinsip ramah lingkungan. Saat ini telah banyak dilakukan inovasi industri ramah lingkungan, salah satunya integrasi hulu-hilir atau konsep zero waste industry.
Bagian komoditas yang awalnya hanya sisa atau limbah dapat menghasilkan produk sampingan yang punya nilai ekonomi. Contohnya, pengembangan agrobisnis dari kelapa sawit. Kelapa sawit merupakan tanaman serba guna. Adanya potensi lahan yang subur, didukung pasokan tenaga kerja yang memadai menjadikan kelapa sawit sebagai harapan perekonomian Kaltim ke depan. Kemudian ditunjang luas perkebunan kelapa sawit Kaltim 2013 yang mencapai 1 juta hektare.
Bahkan, hasil pengolahan di pabrik kelapa sawit yang berupa Crude Palm Oil (CPO) dapat diolah menjadi berbagai produk turunan, antara lain detergen, makanan, bahan makanan tambahan, pelumas, enzim industri dan lain-lain.
"Tentu saja masing-masing produk membutuhkan proses sendiri di pabrik yang berbeda-beda. Bisa dibayangkan berapa tenaga kerja yang terserap jika sektor ini terus dikembangkan hingga sektor hilir," jelasnya.
Tantangan dan permasalahan pembangunan pertanian ke depan tidak lagi hanya sebatas pada ketersediaan infrastruktur pertanian, SDM petani dan sarana prasarana produksi pertanian. Ke depan tantangan akan semakin berat.
Pada 2015 masyarakat Indonesia akan menghadapi Asean Economic Community, disisi lain masyarakat dihadapkan pada isu perubahan iklim yang berpotensi menyebabkan gagal panen dan kelangkaan pangan secara global akibatnya harga pangan akan melonjak tinggi. Cepat atau lambat masyarakat akan menghadapi keadaan dimana ketersediaan pangan akan menjadi isu politik dan pertahanan suatu negara.
"Harapan saya semua masyarakat bisa memahami mengapa harus berbalik arah, mengapa kita harus banting stir untuk tidak lagi berharap dan bergantung pada sektor-sektor yang tidak dapat diperbarui. Saya ingin semuanya melek. Saya juga ingin mengingatkan, ini bukan lagi jamannya jual produk mentah. Jangan terlalu manja, kita harus kreatif dan inovatif untuk menghasilkan nilai tambah," jelasnya.(jay/es/hmsprov).
SUMBER : HUMAS PROV. KALTIM