Sudah Lirik Hilirisasi Produk CPO
17 November 2014
Admin Website
Berita Daerah
4105
SAMARINDA. Proyeksi perbaikan pertumbuhan ekonomi
Kaltim pada 2015 memberi optimisme tersendiri. Pengusaha juga terus
melirik sisi hilirisasi produk sawit setelah CPO, demi memutus
ketergantungan terhadap migas dan batu bara. Namun itu hanya bisa
dilakukan bila janji rezim Jokowi memangkas ribetnya izin terwujud.
Ya, di provinsi ini, tantangan memperbaiki pertumbuhan ekonomi terletak pada tingginya ketergantungan terhadap migas dan batu bara.
Secara angka statistik, dua sektor ini memang sangat dominan dalam Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).
Namun perlu diingat, faktanya sejak 2011 lalu, tren pertumbuhan ekonomi Kaltim justru cenderung menurun (lihat grafis). Jika mengacuhkan migas dan batu bara, angka pertumbuhan malah tercatat lebih baik. Akibat ketergantungan terlalu besar, bila dua sektor ini bermasalah misalnya harga batu bara anjlok, maka Kaltim secara keseluruhan akan kena dampaknya.
Ketua Dewan Pengurus Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kaltim Slamet Brotosiswoyo membenarkan bahwa tertahannya laju pertumbuhan ekonomi Kaltim tak lepas dari dua komoditas tersebut.
Tak hanya produktivitas yang menurun secara sektoral, dia menilai, penurunan nilai produksi perusahaan migas dan batu bara memberi efek berlapis ke bidang bisnis lainnya.
"Multiplier effect jelas ada. Terutama pada produksi batu bara. Minimal, bidang usaha yang melayani sektor ini, seperti penyedia alat berat dan jasa lainnya. Selebihnya dampak datang dari penyedia barang konsumsi yang pasarnya menurun karena banyak tenaga kerja (perusahaan tambang) yang dirumahkan," ucapnya kepada Kaltim Post, Rabu (12/11) kemarin.
Upaya menggenjot sektor selain migas dan batu bara pun, dinilai Slamet membutuhkan keseriusan pemerintah. Dunia usaha, kata dia, sudah lama menunggu kebijakan pendukung, seperti kemudahan perizinan dan kejelasan tata ruang.
"Salah satu yang potensial adalah hilirisasi produk sawit setelah CPO. Saya yakin, jika berjalan, sektor ini bisa menjadi tumpuan ekonomi Kaltim selanjutnya. Secara teknis sebenarnya tak sulit, dan banyak pebisnis sudah lama melihat peluang ini. Hanya saja, masih menunggu dukungan kebijakan untuk dieksekusi," ungkapnya.
Di samping anjloknya harga global, Slamet menjelaskan, perlambatan laju ekonomi Kaltim juga tak lepas dari sikap menunda para investor dan pelaku bisnis. Menurut dia, situasi politik menjadi salah satu pertimbangan utama, selain sisi teknis dunia usaha.
"Banyak yang terkendala tumpang tindih perizinan, hingga sengketa dengan persoalan tata ruang wilayah. Sebagian besar memilih menghindari hal-hal seperti itu, dan sengaja menahan ekspansi sampai pergantian pemerintahan," urainya.
Bahkan, hingga saat ini pun, lanjut dia, sebagian besar pengusaha belum memaksimalkan pengembangan modal mereka di Kaltim. Pasalnya, belum ada kepastian efektivitas kebijakan pemerintah dalam mendukung iklim usaha.
"Mereka masih menunggu untuk membuktikan keampuhan aturan pemerintahan Jokowi-JK, yang katanya akan memangkas proses-proses perizinan agar dunia usaha lebih mudah. Kalau benar terlaksana, saya yakin, pengusaha yang hingga tahun ini hanya berancang-ancang, akan segera menggiatkan eksplorasi dan produksi mereka pada tahun depan," beber Slamet.
Pemaparan Slamet tersebut didukung dengan laju pengembangan modal di Kaltim. Badan Perizinan dan Penanaman Modal Darah (BPPMD) mencatat, hingga triwulan kedua lalu, realisasi investasi di Kaltim mencapai Rp 22,1 triliun (belum termasuk investasi yang dicatat di kabupaten/kota). Angka tersebut lebih kecil dibanding penyerapan Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) yang pada periode yang sama sudah menyentuh Rp 38,7 triliun. (man/che/k14)
SUMBER : KALTIM POST, KAMIS, 13 NOVEMBER 2014