
SAMARINDA. Proyeksi perbaikan pertumbuhan ekonomi
Kaltim pada 2015 memberi optimisme tersendiri. Pengusaha juga terus
melirik sisi hilirisasi produk sawit setelah CPO, demi memutus
ketergantungan terhadap migas dan batu bara. Namun itu hanya bisa
dilakukan bila janji rezim Jokowi memangkas ribetnya izin terwujud.
Ya, di provinsi ini, tantangan memperbaiki pertumbuhan ekonomi
terletak pada tingginya ketergantungan terhadap migas dan batu bara.
Secara angka statistik, dua sektor ini memang sangat dominan dalam Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).
Namun perlu diingat, faktanya sejak 2011 lalu, tren pertumbuhan
ekonomi Kaltim justru cenderung menurun (lihat grafis). Jika mengacuhkan
migas dan batu bara, angka pertumbuhan malah tercatat lebih baik.
Akibat ketergantungan terlalu besar, bila dua sektor ini bermasalah
misalnya harga batu bara anjlok, maka Kaltim secara keseluruhan akan
kena dampaknya.
Ketua Dewan Pengurus Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kaltim
Slamet Brotosiswoyo membenarkan bahwa tertahannya laju pertumbuhan
ekonomi Kaltim tak lepas dari dua komoditas tersebut.
Tak hanya produktivitas yang menurun secara sektoral, dia menilai,
penurunan nilai produksi perusahaan migas dan batu bara memberi efek
berlapis ke bidang bisnis lainnya.
"Multiplier effect jelas ada. Terutama pada produksi batu
bara. Minimal, bidang usaha yang melayani sektor ini, seperti penyedia
alat berat dan jasa lainnya. Selebihnya dampak datang dari penyedia
barang konsumsi yang pasarnya menurun karena banyak tenaga kerja
(perusahaan tambang) yang dirumahkan," ucapnya kepada Kaltim Post, Rabu (12/11) kemarin.
Upaya menggenjot sektor selain migas dan batu bara pun, dinilai Slamet
membutuhkan keseriusan pemerintah. Dunia usaha, kata dia, sudah lama
menunggu kebijakan pendukung, seperti kemudahan perizinan dan kejelasan
tata ruang.
"Salah satu yang potensial adalah hilirisasi produk sawit setelah CPO.
Saya yakin, jika berjalan, sektor ini bisa menjadi tumpuan ekonomi
Kaltim selanjutnya. Secara teknis sebenarnya tak sulit, dan banyak
pebisnis sudah lama melihat peluang ini. Hanya saja, masih menunggu
dukungan kebijakan untuk dieksekusi," ungkapnya.
Di samping anjloknya harga global, Slamet menjelaskan, perlambatan
laju ekonomi Kaltim juga tak lepas dari sikap menunda para investor dan
pelaku bisnis. Menurut dia, situasi politik menjadi salah satu
pertimbangan utama, selain sisi teknis dunia usaha.
"Banyak yang terkendala tumpang tindih perizinan, hingga sengketa
dengan persoalan tata ruang wilayah. Sebagian besar memilih menghindari
hal-hal seperti itu, dan sengaja menahan ekspansi sampai pergantian
pemerintahan," urainya.
Bahkan, hingga saat ini pun, lanjut dia, sebagian besar pengusaha
belum memaksimalkan pengembangan modal mereka di Kaltim. Pasalnya, belum
ada kepastian efektivitas kebijakan pemerintah dalam mendukung iklim
usaha.
"Mereka masih menunggu untuk membuktikan keampuhan aturan pemerintahan
Jokowi-JK, yang katanya akan memangkas proses-proses perizinan agar
dunia usaha lebih mudah. Kalau benar terlaksana, saya yakin, pengusaha
yang hingga tahun ini hanya berancang-ancang, akan segera menggiatkan
eksplorasi dan produksi mereka pada tahun depan," beber Slamet.
Pemaparan Slamet tersebut didukung dengan laju pengembangan modal di
Kaltim. Badan Perizinan dan Penanaman Modal Darah (BPPMD) mencatat,
hingga triwulan kedua lalu, realisasi investasi di Kaltim mencapai Rp
22,1 triliun (belum termasuk investasi yang dicatat di kabupaten/kota).
Angka tersebut lebih kecil dibanding penyerapan Pembentukan Modal Tetap
Bruto (PMTB) yang pada periode yang sama sudah menyentuh Rp 38,7
triliun. (man/che/k14)
SUMBER : KALTIM POST, KAMIS, 13 NOVEMBER 2014