
JAKARTA. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit
Indonesia (Gapki) meminta Pemerintah mencabut moratorium pemanfaatan
lahan gambut di kawasan hutan. Dengan begitu lahan gambut bisa
dimanfaatkan untuk memperluas lahan kelapa sawit dan meningkatkan
produksi crude palm oil (CPO).
Sekjen Gapki, Joko Supriyono mengatakan, lahan gambut yang ditanami
kelapa sawit mereduksi hampir setengah emisi dibandingkan dengan gambut
tropis atau sawah gambut, yaitu di kisaran 31,40-57,06 karbon dioksida
per hektare per tahun.
"Sampai saat ini perkebunan kelapa sawit di lahan gambut perawan hanya
sekitar tiga persen, masih sangat kecil," ujarnya dalam keterangan
tertulisnya Rabu (9/7) kemarin.
Regulasi yang tertuang dalam Instruksi Presiden No 6/2013 itu
memperpanjang moratorium dari peraturan sebelumnya hingga 2015. Pihaknya
menilai keputusan itu bukan solusi yang tepat karena lahan gambut yang
tidak dibudidayakan dengan baik justru akan menyumbang emisi lebih
besar.
"Kalau lahan gambut rusak, justru emisi karbonnya akan lebih tinggi," sebutnya.
Instruksi Presiden yang ditandatangani pada 13 Mei 2013 itu melarang
penggunaan hutan alam primer dan lahan gambut yang berada di hutan
konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi. Penundaan pemberian izin
baru juga berlaku di area penggunaan lain sebagaimana tercantum dalam
Peta Indikatif Penundaan Izin Baru. "Kalau ada yang bilang tanaman sawit
merusak lahan gambut itu perang dagang aja," katanya.
Pasalnya, di negara sentra kelapa sawit lain, seperti Malaysia,
perkebunan kelapa sawit bahkan ditanam di lahan gambut dengan kedalaman
delapan meter. Namun begitu harus diakui biaya investasi kelapa sawit di
lahan gambut memang sedikit lebih mahal dibanding dengan hamparan lain.
"Tapi selama estimasi investasi tepat dan menguntungkan bisa saja investor sawit tertarik," tuturnya.
Joko menerangkan tanaman sawit bisa tumbuh subur di Indonesia. Oleh
karena itu minyak nabati di Eropa dan Amerika Serikat hanya mengandalkan
tanaman seperti kedelai dan lainnya. Sudah terbukti kelapa sawit
merupakan tanaman dengan produktivitas paling tinggi untuk mengisi
permintaan dunia.
"Kebutuhan dunia 5-6 juta ton CPO, itu hanya butuh sejuta hektare kebun sawit, kalau kedelai butuh 10 juta hektare," sebutnya.
Oleh karena itu, Joko menilai wajar apabila negara-negara Eropa serta
Amerika Serikat terus melakukan kampanye hitam terhadap sawit Indonesia.
Padahal menurut data Gapki, negara yang paling banyak melakukan
deforestasi (penggundulan hutan) dan alih guna lahan gambut adalah
Tiongkok dan Rusia. "Jadi bukan Indonesia, karena Tiongkok dan Rusia
lebih banyak deforestasi," jelasnya. (wir/jpnn/che/k14)
SUMBER : http://www.kaltimpost.co.id/berita/detail/83786-pengusaha-sawit-incar-lahan-gambut.html