
JAKARTA. Pemerintah dan para pengusaha kelapa sawit (CPO) berkomitmen untuk
mendorong pemanfaatan biodiesel "mandatory" 10 persen dengan menyetujui
formula penghitungan pembelian bahan bakar nabati tersebut oleh PT
Pertamina.
"Kita sudah ketemu, Pertamina setuju, pengusaha
setuju dan pemerintah, dalam hal ini (Kementerian) Keuangan karena ini
menyangkut subsidi, juga setuju," ujar Wakil Menteri Keuangan Bambang
Brodjonegoro seusai pertemuan lintas kementerian, PT Pertamina dan para
pengusaha di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat malam.
Bambang mengharapkan dengan adanya kesepakatan ini maka realisasi
subsidi energi tidak akan melebihi pagu dalam APBN 2014, dan pemanfaatan
energi di masa mendatang dapat lebih efisien serta ramah lingkungan.
Ia tidak mengungkapkan formula baru yang akan digunakan, namun telah
ditemukan persetujuan yang menguntungkan. Hal itu terlihat dari adanya
selisih formula yang diusulkan PT Pertamina sebelumnya, dengan formula
yang disepakati dalam pertemuan hari ini.
"Formulanya sudah
disepakati. Tadi coba dihitung, memang ada selisih, tapi selisih itu
masih masuk pagu subsidi yang Rp3.000 per liter. Itu 'on top', kalau
misalnya harganya lebih dari harga solar," ujar Bambang.
Menteri Perindustrian MS Hidayat memastikan kontrak yang digunakan oleh
PT Pertamina dan pengusaha dalam pengadaan biodiesel akan bersifat
jangka panjang, yang lebih menguntungkan dalam mendukung kebijakan
energi nasional.
"Kita akan membuat aturan yang mengikat
suplainya, supaya pasokan biodieselnya bisa berkelanjutan paling tidak
selama tiga tahun, jadi kalau ada fluktuasi harga di pasar internasional
bisa diamankan," katanya.
Sebelumnya, pemanfaatan biodiesel
"mandatory" 10 persen yang diusulkan pemerintah sejak Agustus 2013,
belum tuntas dilakukan masa lelang karena masih ada perbedaan pendapat
antara PT Pertamina dengan pengusaha, terkait ketidaksesuaian harga jual
bahan bakar nabati tersebut.
Pemerintah mengharapkan kebijakan
biodiesel, yang berbahan baku CPO itu, dapat menekan impor migas serta
memperbaiki kinerja neraca transaksi berjalan dan mengurangi beban
belanja subsidi energi yang jumlahnya mendekati Rp300 triliun pada 2014.
DIKUTIP DARI WARTA EKONOMI, SABTU, 8 FEBRUARI 2014