
SAMARINDA. Konsumsi minyak nabati dunia terus bertumbuh. Tahun lalu total penggunaannya mencapai 163 juta ton dan didominasi oleh Crude Palm Oil
(CPO) atau minyak kepala sawit. Namun demikian, produktivitas sawit
Indonesia sebesar 13,6 ton per hektare masih berada di bawah Malaysia
yang mencapai 19 ton per hektare.
"Dari sisi harga potensi rebound masih sangat terbuka seiring
tingginya permintaan," ucap Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia
(KPw-BI) Kaltim Ameriza Ma’ruf Moesa beberapa waktu lalu.
Dalam tiga tahun terakhir, produksi CPO Tanah Air tumbuh sekitar 8,15
persen. Sementara itu produsen utama minyak kelapa sawit adalah Riau
sebanyak 23,9 persen, Sumatra Utara sekira 16 persen, Kalimantan Tengah
sekitar 10,8 persen, dan Sumatera Selatan sekitar 9,9 persen. “CPO
Indonesia mayoritas dikonsumsi oleh pasar luar negeri seperti India,
Tiongkok, dan Belanda,” ucap Ameriza.
Ameriza mengatakan CPO merupakan sektor yang paling potensial untuk
dikembangkan setelah menurunnya produksi batu bara. Terlebih CPO
termasuk ke dalam sumber daya alam renewable alias dapat diperbaharui.
"Berdasarkan bincang-bincang kami dengan para pengusaha batu bara,
mereka tidak berani untuk memperkirakan harga akan naik lebih dari 10
dolar," jelasnya.
Mengingat adanya kebijakan Pemerintah Tiongkok yang membatasi
pembelian batu bara dengan kalori rendah di bawah 4 ribu kalori, dan
tahun ini sepertinya akan diimplementasikan. “Dengan kata lain, harus
melihat sektor baru, prospeknya ada di CPO,” tutur Ameriza.
Data dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI)
menunjukkan, luas kebun rakyat yang pada 2003 sebesar 1,85 juta hektare,
pada 2012 naik dua kali lipat menjadi 3,7 juta hektare. Selain itu,
jumlah perusahaan perkebunan sawit swasta dan BUMN tumbuh menjadi 1.320.
Tumbuhnya industri CPO juga mendorong munculnya 750.000 unit usaha
kecil menengah (UKM) yang menjadi supplier barang dan jasa.
Meski mencatat sukses besar, masih banyak hal yang mesti diperbaiki
untuk mendorong percepatan hilirisasi CPO. Misalnya, dengan mempercepat
pembangunan infrastruktur yang berkualitas seperti fasilitas logistik,
serta penyediaan akses jalan dari pusat produksi darat/pedalaman ke
pelabuhan ekspor. Di samping itu, pemerintah juga harus memastikan
tersedianya bahan baku untuk diolah industri hilir CPO.
Masuk sebagai salah satu daerah penghasil CPO, Kaltim memiliki peluang
untuk berkembang, walaupun berada di bawah daerah tetangga, yakni
Kalteng dan Kalbar. Namun demikian pertumbuhan produksi CPO dalam kurun 4
tahun terakhir mencapai 23,74 persen (nasional 9,53 persen). "Sementara
tahun lalu mencapai 1,25 juta ton dengan share 4,5 persen terhadap nasional," kata Ameriza.
Pada 2013, Tanaman Belum Menghasilkan (TBM) di Kaltim mencapai 659.270
hektare (59 persen). Tingginya TBM mencerminkan masih terjadi lonjakan
produksi beberapa tahun ke depan. Dari sisi investasi, realisasi
Penanaman Modal Asing (PMA) 2009-2013 mencapai 2.446,3 juta USD dan
Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) mencapai Rp 7,8 triliun.
"Tapi industri hilir dan pelabuhan Kaltim masih minim menjadi penghambat maksimalisasi potensi CPO Kaltim," sebutnya.
Tumbuhnya produksi tidak diimbangi ekspor luar negeri (LN), sehingga
diperkirakan CPO Kaltim diekspor melalui daerah lain. Minimnya
infrastruktur pelabuhan dan industri hilir diperkirakan menjadi sebab
ekspor melalui daerah lain seperti Dumai, Riau.
"Walau begitu, saat ini hasil CPO Kaltim peringkat 8 dari produksi
nasional. Jadi dengan pembangunan KIPI Maloy sangat membantu," sebutnya.
(*/ypl/*/hsw/lhl/k14)
DIKUTIP DARI KALTIM POST, SENIN, 25 AGUSTUS 2014