JAKARTA. Rencana pembatasan saham kepemilikan asing di perkebunan maksimal 30
persen batal masuk dalam revisi Undang-Undang (RUU) Perkebunan.
Kementerian Pertanian dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sepakat
pembatasan saham asing itu akan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP).
"Soal pembatasan saham asing di sektor perkebunan itu
masalah krusial, poin itu agak sulit jika harus diselesaikan dalam
jangka waktu beberapa hari ke depan, harus diakui itu memang berat. Tapi
Undang-Undang harus selesai jadi saya usul agar (soal saham asing) itu
tidak dimasukkan dalam Undang-Undang tapi cukup diatur dalam Peraturan
Pemerintah," ujar Menteri Pertanian Suswono saat raker dengan Komisi IV
(15/9).
Menurut dia, pembahasan UU tersebut sudah menjadi komitmen dan harus
dibahas pada sisa pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II ini.
Pasalnya kata Suswono, pembahasan tersebut merupakan tindak lanjut judicial review
beberapa pasal dalam UU Perkebunan. "Ada dua pasal kalau tidak salah
yang dibatalkan, oleh karena itu tentu harus ada revisi dalam
undang-undang itu," terangnya.
Dirjen Perkebunan Kementan Gamal Nasir mengatakan pihaknya akan
membahas soal besaran pembatasan kepemilikan asing di bidang perkebunan
untuk dibuat dalam bentuk Peraturan Pemerintah. "Lazimnya tidak ada
angka nominal. Nanti kami lihat pembatasannya bagaimana. Saya khawatir
investasi asing tidak mau masuk ke hilir. Nanti kami aturlah karena ini
menyangkut rakyat," kata dia.
Semua jenis perkebunan nanti akan dimasukkan dalam PP tersebut,
kecuali perkebunan kelapa sawit. Alasannya, tidak etis selama ini negara
mengundang asing untuk berinvestasi di perkebunan sawit dan petani
rakyat menikmati hasilnya namun tiba-tiba dibatasi.
"Kami juga perlu mengantisipasi kalau saja dia (investor asing) tidak
mau nanti industri dalam negeri tidak bisa berjalan. Ini memang
kondisional dan belum dibahas kepada stakeholder," tukasnya.
Wakil Ketua Komisi IV Herman Khaeron mengatakan draft soal
pembatasan itu tetap dicantumkan Undang-Undang. Namun bedanya, pasal
yang membatasi itu tidak dicantumkan dalam bentuk angka.
"Karena ini Undang-Undang bahwa pembatasan ini adalah afirmatif
legislasi, nanti kuantitas angka diserahkan kepada peraturan pemerintah
(PP). Ini sama dengan Undang-Undang investasi yang tidak membatasi
secara kuantitatif tetapi diserahkan ke PP," katanya.
Ia mengatakan pembatasan itu dilatari fakta bahwa perkebunan tidak
bisa dikategorikan satu kategori saja tetapi banyak dan harus jadi
perhatian. Sehingga dalam penetapan, Undang-Undang itu sifatnya hanya
pendelegasian saja. Herman meminta pengusaha jangan khawatir terhadap
Undang-Undang Perkebunan sebab pihaknya mendalami setiap pendapat dan
membahasnya bersama pemerintah. "Biar nanti pemerintah yang menentukan
besarannya berapa," ungkapnya.
Herman mengatakan yang menjadi sorotan DPR saat ini justru mengenai
tumpang tindih izin yang selalu berganti seiring pergantian pimpinan
daerah. Maka dari itu pihaknya ingin hal itu tidak lagi terjadi.
Pasalnya, tidak bisa dibangun perkebunan yang luas tanpa ada blue print yang mengerucut pada perencanaan nasional.
"Perlu ada blue print berapa hektare untuk perkebunan sawit. Sehingga ke depan Pemda secara inline mengikuti perencanaan pusat," jelasnya. (wir/jpnn/che/k15)
SUMBER : KALTIM POST, RABU, 17 SEPTEMBER 2014