(0541)736852    (0541)748382    disbun@kaltimprov.go.id

Keluhkan Soal Pupuk, Petani Beli di Tawau

10 Juni 2009 Admin Website Artikel 4820
"Walaupun harganya sangat mahal, petani di Sebatik terpaksa harus membeli pupuk di Tawau," demikian Kepala Dusun Desa Maspul Kecamatan Sebatik Barat, Muhammad Abdu kemarin.

#img1# Dikatakan Abdu, masalah pupuk memang menjadi kebutuhan yang paling dikeluhkan masyarakat petani di kecamatan ini. Pasokannya masih sangat kurang sehingga bertolak belakang dengan apa yang digaungkan pemerintah bahwa Sebatik merupakan daerah prospek pertanian yang dapat diandalkan.

"Saya sering menerima keluhan masyarakat soal kebutuhan pupuk untuk mengelola lahan pertanian mereka, karena tidak tersedia di Sebatik ini," kata Abdu.

Para petani di kecamatan ini, lanjut dia, juga mempertanyakan manfaat dibentuknya kelompok tani di Kecamatan Sebatik jika ternyata kebutuhan mendasar mereka dalam mengelola bidang pertanian tersebut tidak lebih baik dibanding jauh sebelum kelompok tani dibentuk.

Yang cukup membingungkan, menurut Abdu, berdasar informasi dari Dinas Pertanian Kabupaten Nunukan, pasokan pupuk untuk mendukung pertanian di Kecamatan Sebatik sebenarnya mencukupi, namun oleh sebuah lembaga yang dipercaya sebagai perpanjangan tangan pemerintah daerah dalam pendistribusian pupuk di Kecamatan Sebatik selalu mengatakan kurang dan selalu habis sebelum sebagian besar petani memperoleh pupuk yang dibutuhkan.

Apakah terindikasi terjadi penyimpangan dalam hal penyaluran pupuk oleh lembaga yang dipercaya pemerintah tersebut? Abdu tidak berani memastikannya. Namun menurut dia, sebaiknya pemerintah membuka lagi satu lembaga lain penyalur pupuk di Kecamatan ini, khususnya wilayah Kecamatan Barat, mengingat para petani di daerah inilah yang selalu tidak kebagian jatah mendapatkan pupuk.

Selama ini, kata Abdu, guna kelangsungan pengelolaan lahan pertanian mereka, masyarakat terpaksa membeli pupuk ke kota Tawau walau dengan harga yang cukup tinggi. Misalnya saja satu karung pupuk jenis NPK seberat 25 kilogram, dibeli dengan harga sebesar RM 100 atau hampir mencapai nilai Rp Rp 300 ribu rupiah.

"Harga ini cukup memberatkan petani. tapi tidak ada pilihan lain karena pasokan dari dalam negeri memang tidak ada," katanya.

DIKUTIP DARI KALTIM POST, RABU, 10 JUNI 2009

Artikel Terkait