JAKARTA--MICOM: Komoditas pertanian kelapa yang sebelumnya hendak
dikenakan bea keluar (BK) tidak jadi dikenai aturan penghambat ekspor
tersebut.
Sebab, hasil kajian Kemenko Perekonomian, Kementerian Perdagangan,
Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian, dan Badan Pusat
Statistik menunjukkan, produksi kelapa masih surplus dari kebutuhan
industri, sementara proporsi ekspornya kecil.
Oleh karena itu, untuk memastikan pasokan kelapa butir untuk
industri, instrumen yang dianggap lebih tepat merupakan instrumen
distribusi.
Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Deddy Saleh
memaparkan, produksi kelapa pada 2010 mencapai 16,3 miliar butir. 16%
produksi Riau, 8% Jawa Timur 8% Sulawesi Utara 8%, Maluku Utara, dan
sebagainya.
Sementara kebutuhan bahan baku kelapa hanya 7,6 miliar dengan
kebutuhan mayoritas di Riau 47,2%, di susul kebutuhan Sulawesi Utara
14,8%, Gorontalo 4,9%.
"Berarti ada kelebihan. Ada kelebihan juga di daerah tertentu
seperti di Maluku Utara, Sulawesi Tengah, Kalimantan, dan seluruh Jawa.
Sedangkan ada yang kekurangan di Riau, di Sulawesi Utara, DKI (Jakarta),
Gorontalo," jelas Deddy ketika ditemui di Kementerian Perdagangan,
Jumat (12/8).
Sementara itu, porsi ekspor kelapa dinilai masih sangat kecil, yakni
di bawah 1% dari total produksi. "Kalau kita liat di Riau saja, Riau
produksi 2,8 miliar, kebutuhan 3,8 miliar, ekspor hanya 100 juta butir,
itu hanya 0,02% dari produksi di situ," katanya.
Sedangkan ekspor nasional totalnya 130 juta butir, lebih kecil dari
1% dibandingkan dengan total produksi. Ekspor dari Riau kira-kira 92%
dari total ekspor. Kelapa tersebut mayoritas dikirim ke Malaysia,
Singapura, dan China.
DIKUTIP DARI MEDIA INDONESIA, JUMAT, 12 AGUSTUS 2011