
JAKARTA. Indonesia menyandang sebagai pengekspor minyak kelapa sawit (Crude
Palm Oil/CPO) terbesar di dunia. Namun geliat sektor CPO Indonesia kian
tahun kian lesu. Bahkan di 2013 ternyata masih lesu, meskipun di awal
tahun sempat mengalami kenaikan.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki)
menyampaikan dalam periode Januari-Agustus 2013, ekspor CPO Indonesia
mencapai 13,69 juta ton atau mengalami kenaikan 18,6 persen dibanding
periode sama pada 2012 sebesar 11,54 juta ton. Meski demikian, bukan
berarti CPO sebagai salah satu tulang punggung ekspor Indonesia tidak
pernah mendapat hambatan. Salah satu hambatan tersebut datang dari
Negara-negara Uni Eropa yang memiliki banyak produsen grapeseed, dan
bunga matahari sampai saat ini terus menerus berupaya membatasi
perdagangan CPO Indonesia.
Bahkan, setelah tuduhan dumping tak terbukti, Eropa menuduh CPO
merupakan produk yang tak ramah lingkungan. Namun, tuduhan itu pun tak
terbukti lantaran angka kepatuhan terhadap keramahan lingkungan CPO
Indonesia sudah lebih tinggi dari yang dituduhkan Environment Protection
Agency (EPA).
Meski diprediksi mengalami kenaikan secara keseluruhan di Indonesia,
pada awal tahun ekspor CPO Indonesia sempat menurun tajam, salah satunya
seperti yang terjadi di Sumatera Utara. Dinas Perindustrian dan
Perdagangan (Disperindag) Sumatera Utara (Sumut) mencatat, terjadi
penurunan sangat signifikan pada ekspor CPO Sumut.
Kepala Seksi Ekspor Hasil Pertanian dan Pertambangan Disperindag Sumut
Fitra Kurnia menyampaikan, penurunan kinerja ekspor CPO ini tidak
terlalu mengejutkan, karena menjadi salah satu dampak mengecilnya pasar
impor akibat krisis keuangan yang terjadi di Amerika Serikat (AS) dan
Eropa.
Gapki mencatat harga CPO di pasar dunia semakin lesu. Pada April
hingga pertengahan Mei 2013, harga CPO berkisar di antara USD 825 hingga
USD 857,5 per metrik ton. Kisaran harga ini turun dibandingkan bulan
sebelumnya yakni sebesar USD 835 hingga USD 870 pada Maret, USD 835
hingga USD 885 pada Februari dan USD 810 hingga USD 885 pada Januari.
Tragisnya, melemahnya harga CPO tidak dapat mendongkrak pasar ekspor
CPO dan produk turunannya asal Indonesia yang hingga April 2013 masih
mengalami kelesuan yang berkepanjangan. Hal ini tampak dari volume
ekspor yang terus menurun sejak Januari 2013 hingga April 2013.
Ekspor CPO pada April ini mencapai 1,49 juta ton dan terus mengalami
penurunan sejak Januari, yaitu dari 2,05 juta ton (Januari) menjadi 1,92
juta ton (Februari) dan 1,7 juta ton (Maret). Turunnya volume ekspor
CPO asal Indonesia ini menurut Gapki dipengaruhi beberapa faktor seperti
penurunan produksi, permintaan pasar dunia yang lemah sebagai akibat
krisis ekonomi Eropa dan belum pulihnya pertumbuhan ekonomi AS yang juga
berdampak pada perekonomian Tiongkok dan Pakistan.
Jika dihitung secara rinci, total volume ekspor year on year, kinerja
ekspor CPO dan turunannya pada periode Januari-April 2013 menunjukkan
kenaikan. Total volume ekspor Januari-April tahun ini mencapai 7,17 juta
ton.
Jika dibandingkan dengan periode yang sama, kinerja ekspor
Januari-April tahun ini mengalami kenaikan 17 persen atau naik 1,24 juta
ton dari 5,93 juta ton pada Januari-April 2012. Ekspor CPO dan
turunannya tercatat mengalami penurunan ke semua negara tujuan kecuali
India.
Pasar utama ekspor masih didominasi oleh India dengan volume mencapai
546 ribu ton, naik sekitar 130 ribu ton atau 23,8 persen dibandingkan
dengan volume ekspor pada Maret sebesar 416 ribu ton. Walaupun meningkat
dari bulan sebelumnya, jika dibandingkan dengan ekspor pada Januari dan
Februari, kinerja ekspor ke India mengalami penurunan 30 persen atau
setara dengan 233 ribu ton dari 778,92 ribu ton pada Januari dan turun
16 persen atau 106,84 ribu ton dari 652,78 ribu ton pada Februari lalu.
Di sisi lain, naiknya volume ekspor ke India dipengaruhi harga CPO
dunia yang diperkirakan terjadi pada Mei 2013 karena langkanya
persediaan minyak nabati lainnya padahal konsumsi dunia masih cukup
tinggi. Di samping itu keterlambatan jadwal penanaman kedelai dan jagung
juga akan mempengaruhi waktu produksi sehingga hal ini akan menimbulkan
spekulasi kelangkaan kedelai dan jagung yang pada akhirnya akan
mengangkat harga minyak sawit sebagai minyak substitusi. Hal ini yang
memicu aksi beli dari India.
Namun sayangnya, hal tersebut tidak diikuti negara lainnya. Volume
ekspor CPO dan turunannya ke Tiongkok tercatat turun 6 persen dari 174,4
ribu ton di Maret menjadi 164,5 ribu ton di April. Sementara itu ekspor
ke negara Uni Eropa juga mengalami penurunan yang cukup signifikan
yaitu 18,7 persen dari 403 ribu ton di Maret menjadi 301 ribu ton di
April. Penurunan volume ekspor juga terjadi di negara tujuan ekspor
lainnya seperti USA, Pakistan dan Bangladesh.
Selain CPO, komoditas unggulan Indonesia lainnya adalah batu bara.
Pada 2013, PT Adaro Energy Tbk (ADRO) menyampaikan bahwa sepanjang
kuartal pertama harga jual rata-rata batu bara mengalami penurunan 18
persen. Hal ini disebabkan oleh lambatnya pertumbuhan harga dan
melemahnya indeks harga batu bara global.
Meski demikian, pada kuartal ke empat ADRO memperkirakan akan terjadi
perbaikan harga batu bara di kuartal keempat 2013. Adapun harga batu
bara di akhir tahun akan meningkat pada kisaran USD 95 hingga USD 100
per ton.
Menurut Direktur Keuangan ADRO David Tendian, penurunan harga batu
bara saat ini merupakan yang paling lama, di mana tahun lalu saja harga
batu bara diprediksi melemah selama 18 bulan berikutnya.
Meski mengalami penurunan, menurut David kondisi ini merupakan koreksi
sehat. Lebih lanjut, David menyampaikan, di sepanjang kuartal pertama
harga jual rata-rata Adaro mengalami penurunan 18 persen. Hal ini
disebabkan oleh lambatnya pertumbuhan harga dan melemahnya indeks harga
batu bara global.
"Penurunan harga batu bara di sepanjang 2012 terjadi sebagai koreksi
yang sehat, namun kami optimistis di akhir tahun ini harga batu bara
bisa berada di atas USD95 per ton," katanya.
DIKUTIP DARI KALTIM POST, SENIN, 30 DESEMBER 2013