Jakarta -
Perkembangan industri sawit Indonesia bakal terhambat dan sulit
bergerak akibat campur tangan asing yang mempengaruhi pemerintah untuk
membatasi ekspansi kebun sawit.
Direktur Eksekutif Greenomics
Indonesia Elfian Effendi mengatakan, Bank Dunia dalam sektor perkebunan
sawit tertanggal 6 Januari 2011, Bank Dunia mengakui bahwa industri
sawit merupakan penggerak penting pertumbuhan ekonomi. Perkebunan sawit
juga dinilai lebih produktif hingga 10 kali lipat dibandingkan minyak
nabati lainnya.
Bank Dunia juga memperkirakan, dengan populasi
dunia meningkat 11,6% dan peningkatan konsumsi per kapita sebesar 5%,
dibutuhkan tambahan 28 juta ton minyak nabati per tahun mulai 2020.
"Bank
Dunia menyebutkan, jika permintaan itu dipenuhi oleh minyak sawit,
berarti dunia perlu tambahan lahan 6,3 juta hektar. Namun, jika dipenuhi
oleh minyak kedelai, dibutuhkan lahan hingga 42 juta hektar," kata
Elfian dalam siaran pers, Jumat (14/1/2011).
Elfian mengatakan,
Bank Dunia menyatakan perkebunan sawit melibatkan sekitar 40% petani.
Petani sawit dinilai terbantukan peningkatan pendapatannya dengan
aktivitas perkebunan sawit.
Namun menurut Elfian Bank Dunia
mengakui tingginya kritik terhadap pembangunan kebun sawit sebagai salah
satu kontributor utama deforestasi. Atas dasar tersebut, Bank Dunia
menunjuk data the World Resources Institute (WRI) yang mengestimasi
terdapat 15 hingga 20 juta hektar lahan terdegradasi yang bisa
dimanfaatkan untuk ekspansi kebun sawit di Indonesia.
"Tak
heran, jika Bank Dunia mengarahkan pembangunan sawit di Indonesia
dilakukan di areal terdegradasi dan terlantar, tidak di hutan sekunder,
apalagi primer," kata Elfian.
Diduga petunjuk Bank Dunia ini
diikuti oleh pemerintah Indonesia yang tidak memberikan izin pembangunan
kebun sawit di areal hutan sekunder dan primer melalui paket regulasi
moratotium izin.
"Langkah itu relevan jika dilihat dari satu
segi saja, yakni pengurangan deforestasi dan emisi. Namun, Greenomics
menyarankan agar Bank Dunia dan pemerintah perlu melihat fakta, bahwa
tidak semua kabupaten/kota memiliki areal terdegradasi dan terlantar
yang memadai untuk ditawarkan kepada investor sawit," tutur Elfian.
Menurutnya,
paket regulasi moratorium izin konversi lahan gambut dan hutan alam
primer (termasuk sekunder) harus memperhatikan kasus-kasus dan
kondisi-kondisi yang berkembang di lapangan, tidak berkutat pada 'mimpi
moratorium' di atas kertas.
Greenomics memperkirakan, jika paket
regulasi moratorium yang dikeluarkan nanti ternyata tidak sejalan
dengan Undang-Undang Rencana Tata Ruang Nasional (RTRWN) dan
undang-undang lainnya, maka paket regulasi moratorium tersebut
berpotensi besar akan diujimaterikan (judicial review) oleh para pihak
terkait.
"Tentu, risikonya adalah paket regulasi moratorium
tersebut bisa dengan mudah 'dikalahkan' jika substansinya hanya
'mengekor' pada kepentingan asing," tukas Elfian.
DIKUTIP DARI DETIK ONLINE, JUMAT, 14 JANUARI 2011