Industri Sawit RI Sulit Ekspansi Akibat Kepentingan Asing
14 Januari 2011
Admin Website
Artikel
3899
Jakarta -
Perkembangan industri sawit Indonesia bakal terhambat dan sulit
bergerak akibat campur tangan asing yang mempengaruhi pemerintah untuk
membatasi ekspansi kebun sawit.
Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia Elfian Effendi mengatakan, Bank Dunia dalam sektor perkebunan sawit tertanggal 6 Januari 2011, Bank Dunia mengakui bahwa industri sawit merupakan penggerak penting pertumbuhan ekonomi. Perkebunan sawit juga dinilai lebih produktif hingga 10 kali lipat dibandingkan minyak nabati lainnya.
Bank Dunia juga memperkirakan, dengan populasi dunia meningkat 11,6% dan peningkatan konsumsi per kapita sebesar 5%, dibutuhkan tambahan 28 juta ton minyak nabati per tahun mulai 2020.
"Bank Dunia menyebutkan, jika permintaan itu dipenuhi oleh minyak sawit, berarti dunia perlu tambahan lahan 6,3 juta hektar. Namun, jika dipenuhi oleh minyak kedelai, dibutuhkan lahan hingga 42 juta hektar," kata Elfian dalam siaran pers, Jumat (14/1/2011).
Elfian mengatakan, Bank Dunia menyatakan perkebunan sawit melibatkan sekitar 40% petani. Petani sawit dinilai terbantukan peningkatan pendapatannya dengan aktivitas perkebunan sawit.
Namun menurut Elfian Bank Dunia mengakui tingginya kritik terhadap pembangunan kebun sawit sebagai salah satu kontributor utama deforestasi. Atas dasar tersebut, Bank Dunia menunjuk data the World Resources Institute (WRI) yang mengestimasi terdapat 15 hingga 20 juta hektar lahan terdegradasi yang bisa dimanfaatkan untuk ekspansi kebun sawit di Indonesia.
"Tak heran, jika Bank Dunia mengarahkan pembangunan sawit di Indonesia dilakukan di areal terdegradasi dan terlantar, tidak di hutan sekunder, apalagi primer," kata Elfian.
Diduga petunjuk Bank Dunia ini diikuti oleh pemerintah Indonesia yang tidak memberikan izin pembangunan kebun sawit di areal hutan sekunder dan primer melalui paket regulasi moratotium izin.
"Langkah itu relevan jika dilihat dari satu segi saja, yakni pengurangan deforestasi dan emisi. Namun, Greenomics menyarankan agar Bank Dunia dan pemerintah perlu melihat fakta, bahwa tidak semua kabupaten/kota memiliki areal terdegradasi dan terlantar yang memadai untuk ditawarkan kepada investor sawit," tutur Elfian.
Menurutnya, paket regulasi moratorium izin konversi lahan gambut dan hutan alam primer (termasuk sekunder) harus memperhatikan kasus-kasus dan kondisi-kondisi yang berkembang di lapangan, tidak berkutat pada 'mimpi moratorium' di atas kertas.
Greenomics memperkirakan, jika paket regulasi moratorium yang dikeluarkan nanti ternyata tidak sejalan dengan Undang-Undang Rencana Tata Ruang Nasional (RTRWN) dan undang-undang lainnya, maka paket regulasi moratorium tersebut berpotensi besar akan diujimaterikan (judicial review) oleh para pihak terkait.
"Tentu, risikonya adalah paket regulasi moratorium tersebut bisa dengan mudah 'dikalahkan' jika substansinya hanya 'mengekor' pada kepentingan asing," tukas Elfian.
Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia Elfian Effendi mengatakan, Bank Dunia dalam sektor perkebunan sawit tertanggal 6 Januari 2011, Bank Dunia mengakui bahwa industri sawit merupakan penggerak penting pertumbuhan ekonomi. Perkebunan sawit juga dinilai lebih produktif hingga 10 kali lipat dibandingkan minyak nabati lainnya.
Bank Dunia juga memperkirakan, dengan populasi dunia meningkat 11,6% dan peningkatan konsumsi per kapita sebesar 5%, dibutuhkan tambahan 28 juta ton minyak nabati per tahun mulai 2020.
"Bank Dunia menyebutkan, jika permintaan itu dipenuhi oleh minyak sawit, berarti dunia perlu tambahan lahan 6,3 juta hektar. Namun, jika dipenuhi oleh minyak kedelai, dibutuhkan lahan hingga 42 juta hektar," kata Elfian dalam siaran pers, Jumat (14/1/2011).
Elfian mengatakan, Bank Dunia menyatakan perkebunan sawit melibatkan sekitar 40% petani. Petani sawit dinilai terbantukan peningkatan pendapatannya dengan aktivitas perkebunan sawit.
Namun menurut Elfian Bank Dunia mengakui tingginya kritik terhadap pembangunan kebun sawit sebagai salah satu kontributor utama deforestasi. Atas dasar tersebut, Bank Dunia menunjuk data the World Resources Institute (WRI) yang mengestimasi terdapat 15 hingga 20 juta hektar lahan terdegradasi yang bisa dimanfaatkan untuk ekspansi kebun sawit di Indonesia.
"Tak heran, jika Bank Dunia mengarahkan pembangunan sawit di Indonesia dilakukan di areal terdegradasi dan terlantar, tidak di hutan sekunder, apalagi primer," kata Elfian.
Diduga petunjuk Bank Dunia ini diikuti oleh pemerintah Indonesia yang tidak memberikan izin pembangunan kebun sawit di areal hutan sekunder dan primer melalui paket regulasi moratotium izin.
"Langkah itu relevan jika dilihat dari satu segi saja, yakni pengurangan deforestasi dan emisi. Namun, Greenomics menyarankan agar Bank Dunia dan pemerintah perlu melihat fakta, bahwa tidak semua kabupaten/kota memiliki areal terdegradasi dan terlantar yang memadai untuk ditawarkan kepada investor sawit," tutur Elfian.
Menurutnya, paket regulasi moratorium izin konversi lahan gambut dan hutan alam primer (termasuk sekunder) harus memperhatikan kasus-kasus dan kondisi-kondisi yang berkembang di lapangan, tidak berkutat pada 'mimpi moratorium' di atas kertas.
Greenomics memperkirakan, jika paket regulasi moratorium yang dikeluarkan nanti ternyata tidak sejalan dengan Undang-Undang Rencana Tata Ruang Nasional (RTRWN) dan undang-undang lainnya, maka paket regulasi moratorium tersebut berpotensi besar akan diujimaterikan (judicial review) oleh para pihak terkait.
"Tentu, risikonya adalah paket regulasi moratorium tersebut bisa dengan mudah 'dikalahkan' jika substansinya hanya 'mengekor' pada kepentingan asing," tukas Elfian.
DIKUTIP DARI DETIK ONLINE, JUMAT, 14 JANUARI 2011