
SAMARINDA. Merebaknya tren penikmat kopi dari
berbagai kalangan, tak serta-merta memberi dampak terhadap produksi hulu
tanaman ini. Di Kaltim, kebun kopi pun minim penggarap, meski harganya
relatif bagus di pasaran.
Seperti diketahui, produksi kopi
nasional sepanjang tahun lalu hanya tumbuh 1 persen dari 2014. Bahkan,
beberapa tahun terakhir, produksi tanaman tropis ini disebut stagnan.
Di Kaltim, menjamurnya penikmat kopi
sebenarnya sejalan dengan bisnis penyedia minuman yang identik dengan
warna pekat itu. Namun, memang, dibanding daerah lain beberapa daerah
lain, Kaltim memang belum memiliki produk khas untuk minuman ini.
Dari sektor hulu produksi, Dinas
Perkebunan Kaltim mencatat, produksi kopi Kaltim pada 2014 lalu sebesar
562 ton, dengan tingkat produktivitas 229 kilogram per hektare (ha).
Angka itu jauh lebih kecil dari capaian empat tahun sebelumnya atau 2010
lalu, dengan produksi yang masih mampu mencapai 1.893 ton, dengan
tingkat produktivitas 374 kg per ha. (selengkapnya, lihat infografis)
Kepala Bidang Produksi Dinas Perkebunan
Kaltim Sukardi menjelaskan, tanaman kopi memang belum dipandang memiliki
prospek untuk di provinsi ini. Dibanding lima komoditas unggulan, yakni
kelapa sawit, karet, kakao, lada, dan kelapa dalam, tanaman dengan biji
berwarna hitam ini masih kalah peminat.
Tak heran, dibanding dari lima komoditas
tanaman perkebunan unggulan tersebut, kopi justru mengalami situasi
yang berbanding terbalik. "Lima komoditas unggulan itu over supply. Sementara kopi, justru sebaliknya," ujar Sukardi.
Dia mengakui, produksi kopi di Kaltim
memiliki tren yang stagnan, bahkan cenderung menurun. "Sebab, animo
petani di Kaltim tidak signifikan terhadap kopi. Padahal dari segi
harga, peluangnya bagus. Selama ini, progres perkebunan kopi di Kaltim
hanya disesuaikan dengan kecocokan lahan dan animo petaninya," ungkap
dia.
Diketahui, harga biji kopi di pasaran
pada 2015 berkisar antara Rp 23 ribu hingga Rp 30 ribu per kg. Sementara
produksi kopi bubuk asli dijual dengan harga sekira Rp 60 ribu per kg,
sementara yang diberi campuran sekitar Rp 50 ribu. "Pergerakan harga
biasanya terpengaruh biaya transportasi, yang mengacu harga BBM,"
imbuhnya.
Sukardi melanjutkan, di Kaltim tak
banyak produksi karena lahan yang cocok untuk pengembangan sangat
terbatas. Berdasarkan data terakhir, luas areal tanaman kopi tercatat
seluas 4.823 ha, dengan produksi 562 ton. Daerah yang dianggap paling
berproduksi adalah Malinau. Namun kini, kabupaten tersebut sudah masuk
wilayah administratif Kaltara.
"Ketersediaan benih kopi di Kaltim ini
berasal dari Jember, Jawa Timur. Animo petani memang tidak mudah untuk
dipaksakan. Walau memang, pemerintah pusat sudah menjatuhkan status pada
2020 nanti sebagai tahun darurat kopi," urainya. (mon/man/k15)
SUMBER : KALTIM POST, RABU, 17 FEBRUARI 2016