Harga Bagus, Kopi Kaltim Malah Tergerus
19 Februari 2016
Admin Website
Berita Daerah
6642
SAMARINDA. Merebaknya tren penikmat kopi dari
berbagai kalangan, tak serta-merta memberi dampak terhadap produksi hulu
tanaman ini. Di Kaltim, kebun kopi pun minim penggarap, meski harganya
relatif bagus di pasaran.
Seperti diketahui, produksi kopi nasional sepanjang tahun lalu hanya tumbuh 1 persen dari 2014. Bahkan, beberapa tahun terakhir, produksi tanaman tropis ini disebut stagnan.
Di Kaltim, menjamurnya penikmat kopi sebenarnya sejalan dengan bisnis penyedia minuman yang identik dengan warna pekat itu. Namun, memang, dibanding daerah lain beberapa daerah lain, Kaltim memang belum memiliki produk khas untuk minuman ini.
Dari sektor hulu produksi, Dinas Perkebunan Kaltim mencatat, produksi kopi Kaltim pada 2014 lalu sebesar 562 ton, dengan tingkat produktivitas 229 kilogram per hektare (ha). Angka itu jauh lebih kecil dari capaian empat tahun sebelumnya atau 2010 lalu, dengan produksi yang masih mampu mencapai 1.893 ton, dengan tingkat produktivitas 374 kg per ha. (selengkapnya, lihat infografis)
Kepala Bidang Produksi Dinas Perkebunan Kaltim Sukardi menjelaskan, tanaman kopi memang belum dipandang memiliki prospek untuk di provinsi ini. Dibanding lima komoditas unggulan, yakni kelapa sawit, karet, kakao, lada, dan kelapa dalam, tanaman dengan biji berwarna hitam ini masih kalah peminat.
Tak heran, dibanding dari lima komoditas tanaman perkebunan unggulan tersebut, kopi justru mengalami situasi yang berbanding terbalik. "Lima komoditas unggulan itu over supply. Sementara kopi, justru sebaliknya," ujar Sukardi.
Dia mengakui, produksi kopi di Kaltim memiliki tren yang stagnan, bahkan cenderung menurun. "Sebab, animo petani di Kaltim tidak signifikan terhadap kopi. Padahal dari segi harga, peluangnya bagus. Selama ini, progres perkebunan kopi di Kaltim hanya disesuaikan dengan kecocokan lahan dan animo petaninya," ungkap dia.
Diketahui, harga biji kopi di pasaran pada 2015 berkisar antara Rp 23 ribu hingga Rp 30 ribu per kg. Sementara produksi kopi bubuk asli dijual dengan harga sekira Rp 60 ribu per kg, sementara yang diberi campuran sekitar Rp 50 ribu. "Pergerakan harga biasanya terpengaruh biaya transportasi, yang mengacu harga BBM," imbuhnya.
Sukardi melanjutkan, di Kaltim tak banyak produksi karena lahan yang cocok untuk pengembangan sangat terbatas. Berdasarkan data terakhir, luas areal tanaman kopi tercatat seluas 4.823 ha, dengan produksi 562 ton. Daerah yang dianggap paling berproduksi adalah Malinau. Namun kini, kabupaten tersebut sudah masuk wilayah administratif Kaltara.
"Ketersediaan benih kopi di Kaltim ini berasal dari Jember, Jawa Timur. Animo petani memang tidak mudah untuk dipaksakan. Walau memang, pemerintah pusat sudah menjatuhkan status pada 2020 nanti sebagai tahun darurat kopi," urainya. (mon/man/k15)
SUMBER : KALTIM POST, RABU, 17 FEBRUARI 2016
Seperti diketahui, produksi kopi nasional sepanjang tahun lalu hanya tumbuh 1 persen dari 2014. Bahkan, beberapa tahun terakhir, produksi tanaman tropis ini disebut stagnan.
Di Kaltim, menjamurnya penikmat kopi sebenarnya sejalan dengan bisnis penyedia minuman yang identik dengan warna pekat itu. Namun, memang, dibanding daerah lain beberapa daerah lain, Kaltim memang belum memiliki produk khas untuk minuman ini.
Dari sektor hulu produksi, Dinas Perkebunan Kaltim mencatat, produksi kopi Kaltim pada 2014 lalu sebesar 562 ton, dengan tingkat produktivitas 229 kilogram per hektare (ha). Angka itu jauh lebih kecil dari capaian empat tahun sebelumnya atau 2010 lalu, dengan produksi yang masih mampu mencapai 1.893 ton, dengan tingkat produktivitas 374 kg per ha. (selengkapnya, lihat infografis)
Kepala Bidang Produksi Dinas Perkebunan Kaltim Sukardi menjelaskan, tanaman kopi memang belum dipandang memiliki prospek untuk di provinsi ini. Dibanding lima komoditas unggulan, yakni kelapa sawit, karet, kakao, lada, dan kelapa dalam, tanaman dengan biji berwarna hitam ini masih kalah peminat.
Tak heran, dibanding dari lima komoditas tanaman perkebunan unggulan tersebut, kopi justru mengalami situasi yang berbanding terbalik. "Lima komoditas unggulan itu over supply. Sementara kopi, justru sebaliknya," ujar Sukardi.
Dia mengakui, produksi kopi di Kaltim memiliki tren yang stagnan, bahkan cenderung menurun. "Sebab, animo petani di Kaltim tidak signifikan terhadap kopi. Padahal dari segi harga, peluangnya bagus. Selama ini, progres perkebunan kopi di Kaltim hanya disesuaikan dengan kecocokan lahan dan animo petaninya," ungkap dia.
Diketahui, harga biji kopi di pasaran pada 2015 berkisar antara Rp 23 ribu hingga Rp 30 ribu per kg. Sementara produksi kopi bubuk asli dijual dengan harga sekira Rp 60 ribu per kg, sementara yang diberi campuran sekitar Rp 50 ribu. "Pergerakan harga biasanya terpengaruh biaya transportasi, yang mengacu harga BBM," imbuhnya.
Sukardi melanjutkan, di Kaltim tak banyak produksi karena lahan yang cocok untuk pengembangan sangat terbatas. Berdasarkan data terakhir, luas areal tanaman kopi tercatat seluas 4.823 ha, dengan produksi 562 ton. Daerah yang dianggap paling berproduksi adalah Malinau. Namun kini, kabupaten tersebut sudah masuk wilayah administratif Kaltara.
"Ketersediaan benih kopi di Kaltim ini berasal dari Jember, Jawa Timur. Animo petani memang tidak mudah untuk dipaksakan. Walau memang, pemerintah pusat sudah menjatuhkan status pada 2020 nanti sebagai tahun darurat kopi," urainya. (mon/man/k15)
SUMBER : KALTIM POST, RABU, 17 FEBRUARI 2016