JAKARTA--MICOM: Sebagai produsen crude palm oil (CPO) terbesar
dunia, Indonesia masih belum bisa mengalahkan Malaysia dalam jumlah
ekspor hasil industri turunan produk tersebut.
Pada 2010, dari total produksi sekitar 15,6 juta ton CPO, Indonesia
hanya mengekspor sekitar 6,8 juta ton produk turunan. Sementara
sisanya, sebesar 8,8 juta ton diekspor dalam bentuk minyak mentah.
Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia
(GAPKI) Fadhil Hasan menyatakan, sebenarnya dalam beberapa tahun
terakhir perkembangan produk turunan CPO di Indonesia semakin membaik,
tetapi tidak secepat yang diharapkan. Menurutnya, lambatnya pertumbuhan
industri turunan CPO terkendala sejumlah kebijakan pemerintah.
"Industri turunan sudah ada perkembangan. Namun jika dibandingkan
dengan Malaysia kita masih tertinggal jauh. Kami masih belum puas
karena tidak secepat yang diharapkan. Perbandingan ekspor CPO dengan
produk turunannya masih 60:40. Harus ada kondisi yang kondusif untuk
pengembangan hilir, yaitu melalui kebijakan insentif," ujarnya dalam
rapat dengan pendapat dengan Komisi VI DPR RI, Senin (14/2).
Salah satu kebijakan yang masih menjadi kendala adalah bea keluar
(BK) ekspor produk sawit yang diterapkan secara progresif. Menurutnya,
BK progresif tidak tepat lagi diterapkan karena telah melenceng dari
tujuan awalnya untuk menstabilkan harga minyak goreng dalam negeri.
Lantaran itu, kebijakan tersebut dinilai tidak efektif mendorong
hilirisasi industri kelapa sawit.
"Saat ini BK progresif sudah menjadi instrumen penerimaan negara,
tidak seperti tujuan awalnya untuk menstabilkan harga minyak goreng di
dalam negeri. Karena itu, kami sudah sampaikan usulan ke pemerintah
untuk terapkan BK flat 3% kalau harga CPO di atas US$ 700 per ton. Kami
yakin, ini bisa stabilkan harga minyak goreng sekaligus mendorong
tumbuhnya industri turunan CPO," jelasnya.
Selain itu, tambah Fadhil, penerapan BK progresif hanya akan
membuat harga sawit di tingkat petani melorot karena memengaruhi harga
tandan buah segar (TBS) sawit. Ia mencontohkan, saat diterapkan BK
sebesar 3%, penurunan harga CPO di tingkat petani sekitar Rp 195 per
kilogram, sementara ketika BK yang diterapkan sebesar 7,5% maka
penurunan harga meningkat menjadi Rp560 per kilogram.
"Karena itu, kami minta pemerintah agar mengevaluasi kembali skema
BK ekspor CPO ini. Seharusnya dana BK tidak menjadi instrumen
penerimaan negara, tapi dikembalikan ke petani untuk membantu
peremajaan tanaman kelapa sawit, membangun infrastruktur di areal
perkebunan, atau dana subsidi untuk meredam kenaikan harga minyak
goreng di dalam negeri," paparnya.
Selain BK, menurut Fadhil, persoalan lain yang juga masih
menghambat pertumbuhan ekspor CPO Indonesia adalah belum tuntasnya
perundingan Preferential Trade Agreement (PTA) dengan Pakistan. Ia
menilai, berlarut-larutnya perundingan itu membuat pasar ekspor sawit
mentah Indonesia di Pakistan semakin tergerus karena kalah bersaing
dengan produk CPO Malaysia.
"Malaysia sudah punya kesepakatan sejenis. Karena itu mereka bisa
dapatkan bea masuk yang lebih rendah. Implikasinya, tentu harga kita
kalah bersaing di pasar Pakistan karena harga CPO Malaysia lebih murah
dibandingkan harga CPO Indonesia. Ini akibat perundingan yang
berlarut-larut. Sangat disayangkan jika tidak segera dituntaskan,"
tukasnya.
Menurut dia, pada 2007 Indonesia mengekspor sekitar US$567 juta ke
Pakistan. Namun kini, nilai ekspor CPO Indonesia ke Pakistan turun
menjadi hanya sekitar puluhan ribu dollar AS karena perundingan
perjanjian yang belum dituntaskan. Selain itu, pangsa pasar produk CPO
nasional di Pakistan turun dari 45% menjadi sekitar 11%.
"Hambatannya karena Kementerian Pertanian (Kementan) masih
keberatan dengan permintaan Pakistan untuk menghapus bea masuk impor
jeruk kino Pakistan. Kementan melihat produk jeruk impor dari China
saja sudah sudah ditetapkan bea 0%, takutnya jika jeruk kino juga, maka
itu akan mengganggu petani kita," jelasnya.
Selain itu, tambah dia, Pakistan juga meminta pemerintah Indonesia
membebaskan bea masuk impor sejumlah produk lainnya sebagai konsekuensi
penurunan bea masuk produk sawit nasional ke negara tersebut. Namun,
menurut perhitungan Fadhil, Indonesia tidak akan mengalami kerugian
apapun jika memenuhi permintaan tersebut.
"Saya pikir jika dihitung-hitung antara nilai bea impor terhadap
sejumlah produk yang Pakistan ingin kita bebaskan dibandingkan nilai
ekspor kita, itu tidak ada artinya. Jadi tidak apa-apa seharusnya kalau
pemerintah Indonesia penuhi permintaan itu. Imbalan yang akan kita
terima jauh lebih besar," imbuhnya.
Sementara itu, selain mengkritisi penerapan BK progresif, Asosiasi
Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) juga mengeluhkan banyaknya
pungutan yang harus disetorkan produsen kelapa sawit nasional. Sekjen
Apkasindo Asmar Arsyad menilai, banyaknya pungli tidak hanya merugikan
produsen, tapi juga para petani kecil.
"Efeknya domino kalau produsen kena pungutan, kita juga kena
imbasnya, salah satunya posisi tawar harga jual TBS ke produsen menjadi
kecil. Pungutannya bermacam-macam, dari yang resmi sampai yang liar
atau pungli, seperti uang keamanan dan lainnya. Sementara pungutan
resmi datangnya ya dari perda-perda itu," jelasnya.
Ia mencontohkan, adanya pungutan untuk jaminan keamanan selama tiga
tahun sebesar Rp400 juta. Belum lagi jenis-jenis biaya lain yang juga
harus disetorkan. Menurut Asmar, nilai pungutan itu jika dijumlahkan
bisa mencapai 50% pendapatan usaha yang dihasilkan produsen. Lantaran
itu, ada kecenderungan produsen sawit enggan membayarkan pajaknya.
"Produsen pikir lebih baik bayar orang untuk gelapkan pajak
daripada harus keluarkan uang hingga 50% pendapatan usaha.
Kebijakan-kebijakan seperti ini yang harus segera dibereskan kalau mau
mendorong pertumbuhan industri sawit nasional," tandasnya.
DIKUTIP DARI MEDIA INDONESIA, SENIN, 14 PEBRUARI 2011