2.357 Kasus Kriminalisasi Petani Sawit akibat UU Perkebunan
25 April 2011
Admin Website
Artikel
5242
PEKANBARU--MICOM: Sebanyak 2.357 kasus kriminilisasi petani
sawit sepanjang 2007-2010 disebabkan oleh implementasi represif dari
Pasal 21 dan Pasal 47 Undang-Undang (UU) 18/2004 tentang perkebunan.
Norma-norma yang mengatur dalam Pasal 21 dan Pasal 47 ayat (1) dan (2) UU Perkebunan itu tidak jelas, sehingga berpotensi disalahgunakan secara sewenang-wenang.
"Salah satu cara menghentikan berbagai persoalan kriminalisasi terhadap masyarakat di sekitar perkebunan adalah meninjau kembali beberapa pasal dalam UU Perkebunan. Di antaranya Pasal 21 dan Pasal 47," kata Direktur Eksekutif Sawit Watch Abetnego Tarigan kepada mediaindonesia.com, Senin (25/4).
Ia menjelaskan, banyak sekali kriminalisasi terhadap masyarakat adat, masyarakat lokal, dan petani sebagai akibat konflik pertanahan di sekitar wilayah perkebunan, di Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, dan wilayah lainnya di Indonesia.
Sawit Watch mencatat terjadi kriminalisasi di perkebunan kelapa sawit antara perusahaan dengan komunitas masyarakat pada 2007 sebanyak 514 kasus, 2008 terdapat 576 kasus, 2009 ada 604 kasus, dan pada 2010 terdapat 663 kasus. Bahkan, sepanjang 2010 terjadi lebih dari 106 orang warga dikriminalisasikan di perkebunan kelapa sawit ketika masyarakat memperjuangkan hak mereka.
"Salah satu kasus konflik yang terbaru adalah penembakan enam masyarakat Karang Mendapo, Jambi, oleh aparat keamanan," ungkapnya.
Padahal, lanjut Abetnego, lahirnya UU No 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan adalah landasan hukum untuk mengembangkan perkebunan dan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat di Indonesia.
Sayangnya, sambung Abetnego, niat baik pemerintah untuk meningkatkan pembangunan ekonomi ini tidak diikuti dengan pengawasan yang memadai terhadap praktik perusahaan perkebunan.
Perusahaan sering melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan dan hak asasi manusia, khususnya masyarakat di sekitar wilayah perkebunan. Termasuk penggunaan aparat penegak hukum yang seringkali tidak peka terhadap permasalahan yang dihadapi masyarakat Adat, Masyarakat Lokal dan Petani di sekitar wilayah perkebunan.
DIKUTIP DARI MEDIA INDONESIA, SENIN, 25 APRIL 2011
Norma-norma yang mengatur dalam Pasal 21 dan Pasal 47 ayat (1) dan (2) UU Perkebunan itu tidak jelas, sehingga berpotensi disalahgunakan secara sewenang-wenang.
"Salah satu cara menghentikan berbagai persoalan kriminalisasi terhadap masyarakat di sekitar perkebunan adalah meninjau kembali beberapa pasal dalam UU Perkebunan. Di antaranya Pasal 21 dan Pasal 47," kata Direktur Eksekutif Sawit Watch Abetnego Tarigan kepada mediaindonesia.com, Senin (25/4).
Ia menjelaskan, banyak sekali kriminalisasi terhadap masyarakat adat, masyarakat lokal, dan petani sebagai akibat konflik pertanahan di sekitar wilayah perkebunan, di Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, dan wilayah lainnya di Indonesia.
Sawit Watch mencatat terjadi kriminalisasi di perkebunan kelapa sawit antara perusahaan dengan komunitas masyarakat pada 2007 sebanyak 514 kasus, 2008 terdapat 576 kasus, 2009 ada 604 kasus, dan pada 2010 terdapat 663 kasus. Bahkan, sepanjang 2010 terjadi lebih dari 106 orang warga dikriminalisasikan di perkebunan kelapa sawit ketika masyarakat memperjuangkan hak mereka.
"Salah satu kasus konflik yang terbaru adalah penembakan enam masyarakat Karang Mendapo, Jambi, oleh aparat keamanan," ungkapnya.
Padahal, lanjut Abetnego, lahirnya UU No 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan adalah landasan hukum untuk mengembangkan perkebunan dan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat di Indonesia.
Sayangnya, sambung Abetnego, niat baik pemerintah untuk meningkatkan pembangunan ekonomi ini tidak diikuti dengan pengawasan yang memadai terhadap praktik perusahaan perkebunan.
Perusahaan sering melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan dan hak asasi manusia, khususnya masyarakat di sekitar wilayah perkebunan. Termasuk penggunaan aparat penegak hukum yang seringkali tidak peka terhadap permasalahan yang dihadapi masyarakat Adat, Masyarakat Lokal dan Petani di sekitar wilayah perkebunan.
DIKUTIP DARI MEDIA INDONESIA, SENIN, 25 APRIL 2011