Sejumlah Skenario Akan Kembali Dongkrak Harga Karet
12 April 2016
Admin Website
Berita Daerah
4278
SAMARINDA. Vietnam
yang menyatakan ingin bergabung dalam negara penghasil karet justru
hanya akan membuat harga makin tertekan. Namun, sejumlah negara kini
sepakat untuk membuat skenario perbaikan, misalnya, meningkatkan
konsumsi karet di dalam negerinya masing-masing.
Penurunan penjualan otomotif bisa jadi dikatakan sebagai salah satu dampak berkurangnya permintaan karet lokal ke dunia. Sebab, ban kendaraan yang juga diyakini berkurang juga produksinya. Produksi karet yang kini oversupply dan tak seimbang dengan kebutuhannya, diyakini berlangsung sementara. Diharapkan, petani karet tidak putus asa, lantas menunggu kemajuan harga karet.
Kepala Dinas Perkebunan (Disbun) Kaltim Etnawati mengatakan, Indonesia, Malaysia, dan Thailand yang tergabung dalam International Tripartite Rubber Council (ITRC), atau tiga negara penghasil karet terbesar ASEAN, bahkan dunia, kuotanya masih belum terkendali. Kedatangan Vietnam yang menginginkan ikut bergabung ITRC tersebut menjadi masalah baru.
"Padahal, ada perjanjian antara ITRC. Tapi, salah satu dari Malaysia atau Thailand berlebihan ekspor. Kemungkinan, ini juga diawali krisis Yunani. Kalau Vietnam ikut bergabung, tentu akan bertambah lagi kuota produksi. Sementara permintaan karet saat ini menurun," imbuhnya.
Diketahui, pada November 2014 tiga negara produsen karet alam terbesar dunia tersebut sepakat meningkatkan konsumsi karet alam di negeri masing-masing. Yakni, untuk mengurangi pasokan ekspor dan mendongkrak harga komoditas tersebut di pasar dunia. Tapi, kini penurunan permintaan karet yang disertai penurunan harga, membuat petani karet dihadapkan keinginan untuk berganti jenis pertanian. Pasalnya, harga kayu dari pohon karet dikatakan cukup mahal jika dijual.
Kepala Bidang Produksi Disbun Kaltim Sukardi menggarisbawahi, kayu dari pohon karet boleh dijual jika usianya sudah memasuki 25 tahun. Dan, harga kayu tersebut semakin mahal jika usia pohon semakin tua. Dia mengharap, melalui program Kementerian Pertanian menambahkan bahan karet untuk campuran aspal dalam penunjang berbagai infrastruktur nasional, menjadi pemecah kebuntuan petani. Pasalnya, saat ini jumlah petani karet dikatakan lebih banyak dibanding pengelola swasta.
"Jadi, intinya adalah naik dan turunnya harga karet karena antara produksi dengan kebutuhan dalam negeri tak seimbang. Begitu juga yang terjadi pada jalur perdagangan ekspor. Kini, lebih tinggi produksi dibanding kebutuhan," ungkapnya.
Dia meyakinkan, tidak seimbangnya kebutuhan dengan produksi ini hanya berlangsung sementara. Sebab, hal tersebut hanya dampak perlambatan ekonomi global. Diyakini, harga karet akan kembali membaik, seiring membaiknya sektor-sektor ekonomi lainnya. Seperti sektor otomotif yang kini perlahan mengalami perbaikan penjualan.
Areal penanaman karet di Kaltim, saat ini yang cukup luas berada di Kecamatan Palaran dan Samarinda Ilir (Samarinda), Kecamatan Balikpapan Timur dan Balikpapan Utara (Balikpapan), Kecamatan Segah dan Talisayan (Berau), Kecamatan Kota Bangun, Marang Kayu, Samboja dan Muara Badak (Kutai Kartanegara). Selain itu, terdapat kebun plasma milik pekebun di Kecamatan Long Kali (Paser) dan di Kecamatan Marang Kayu (Kutai Kartanegara) yang kedua-duanya merupakan binaan dari PTPN XIII.
Kini, rata-rata harga karet hanya mencapai sekira Rp 4.000 hingga Rp 7.000 per kilogram (kg). Di Kaltim, di kisaran harga Rp 7.000 per kg. Itu sama seperti di Kalteng. Sementara Kalsel, seharga Rp 5,450 per kg. Paling mahal berada di Palembang Sumatra Selatan, senilai sekira Rp 11.000 per kg.
Dilihat dari luas areal pertanaman karet pada data Disbun Kaltim sendiri, pada 2014 tercatat 113.485 hektare (ha). Setidaknya ini dapat memberi sumbangsih pada 90.482 hektare areal perkebunan rakyat. Begitu juga untuk perkebunan besar negara yang seluas 709 hektare, maupun perkebunan besar swasta yang seluas 22.604 hektare (seluruhnya berjumlah 63.281 ton karet kering). Sementara itu, produksi karet se-Indonesia pada 2015 sekitar 3,1 juta ton. (mon/lhl/k15)
SUMBER : KALTIM POST, KAMIS, 7 APRIL 2016
Penurunan penjualan otomotif bisa jadi dikatakan sebagai salah satu dampak berkurangnya permintaan karet lokal ke dunia. Sebab, ban kendaraan yang juga diyakini berkurang juga produksinya. Produksi karet yang kini oversupply dan tak seimbang dengan kebutuhannya, diyakini berlangsung sementara. Diharapkan, petani karet tidak putus asa, lantas menunggu kemajuan harga karet.
Kepala Dinas Perkebunan (Disbun) Kaltim Etnawati mengatakan, Indonesia, Malaysia, dan Thailand yang tergabung dalam International Tripartite Rubber Council (ITRC), atau tiga negara penghasil karet terbesar ASEAN, bahkan dunia, kuotanya masih belum terkendali. Kedatangan Vietnam yang menginginkan ikut bergabung ITRC tersebut menjadi masalah baru.
"Padahal, ada perjanjian antara ITRC. Tapi, salah satu dari Malaysia atau Thailand berlebihan ekspor. Kemungkinan, ini juga diawali krisis Yunani. Kalau Vietnam ikut bergabung, tentu akan bertambah lagi kuota produksi. Sementara permintaan karet saat ini menurun," imbuhnya.
Diketahui, pada November 2014 tiga negara produsen karet alam terbesar dunia tersebut sepakat meningkatkan konsumsi karet alam di negeri masing-masing. Yakni, untuk mengurangi pasokan ekspor dan mendongkrak harga komoditas tersebut di pasar dunia. Tapi, kini penurunan permintaan karet yang disertai penurunan harga, membuat petani karet dihadapkan keinginan untuk berganti jenis pertanian. Pasalnya, harga kayu dari pohon karet dikatakan cukup mahal jika dijual.
Kepala Bidang Produksi Disbun Kaltim Sukardi menggarisbawahi, kayu dari pohon karet boleh dijual jika usianya sudah memasuki 25 tahun. Dan, harga kayu tersebut semakin mahal jika usia pohon semakin tua. Dia mengharap, melalui program Kementerian Pertanian menambahkan bahan karet untuk campuran aspal dalam penunjang berbagai infrastruktur nasional, menjadi pemecah kebuntuan petani. Pasalnya, saat ini jumlah petani karet dikatakan lebih banyak dibanding pengelola swasta.
"Jadi, intinya adalah naik dan turunnya harga karet karena antara produksi dengan kebutuhan dalam negeri tak seimbang. Begitu juga yang terjadi pada jalur perdagangan ekspor. Kini, lebih tinggi produksi dibanding kebutuhan," ungkapnya.
Dia meyakinkan, tidak seimbangnya kebutuhan dengan produksi ini hanya berlangsung sementara. Sebab, hal tersebut hanya dampak perlambatan ekonomi global. Diyakini, harga karet akan kembali membaik, seiring membaiknya sektor-sektor ekonomi lainnya. Seperti sektor otomotif yang kini perlahan mengalami perbaikan penjualan.
Areal penanaman karet di Kaltim, saat ini yang cukup luas berada di Kecamatan Palaran dan Samarinda Ilir (Samarinda), Kecamatan Balikpapan Timur dan Balikpapan Utara (Balikpapan), Kecamatan Segah dan Talisayan (Berau), Kecamatan Kota Bangun, Marang Kayu, Samboja dan Muara Badak (Kutai Kartanegara). Selain itu, terdapat kebun plasma milik pekebun di Kecamatan Long Kali (Paser) dan di Kecamatan Marang Kayu (Kutai Kartanegara) yang kedua-duanya merupakan binaan dari PTPN XIII.
Kini, rata-rata harga karet hanya mencapai sekira Rp 4.000 hingga Rp 7.000 per kilogram (kg). Di Kaltim, di kisaran harga Rp 7.000 per kg. Itu sama seperti di Kalteng. Sementara Kalsel, seharga Rp 5,450 per kg. Paling mahal berada di Palembang Sumatra Selatan, senilai sekira Rp 11.000 per kg.
Dilihat dari luas areal pertanaman karet pada data Disbun Kaltim sendiri, pada 2014 tercatat 113.485 hektare (ha). Setidaknya ini dapat memberi sumbangsih pada 90.482 hektare areal perkebunan rakyat. Begitu juga untuk perkebunan besar negara yang seluas 709 hektare, maupun perkebunan besar swasta yang seluas 22.604 hektare (seluruhnya berjumlah 63.281 ton karet kering). Sementara itu, produksi karet se-Indonesia pada 2015 sekitar 3,1 juta ton. (mon/lhl/k15)
SUMBER : KALTIM POST, KAMIS, 7 APRIL 2016